Cakrawalahukum.com - Praktik pemberian hadiah kepada guru sebagai bentuk apresiasi masih menjadi perdebatan. Di satu sisi, hal ini dianggap sebagai wujud penghargaan atas jasa guru dalam mendidik generasi penerus bangsa. Di sisi lain, potensi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang mengintai di balik pemberian hadiah tersebut, Jumat (09/mei/2025).
Batas antara apresiasi dan gratifikasi menjadi sangat tipis, terutama jika hadiah tersebut diberikan dengan maksud tertentu, misalnya untuk mempengaruhi nilai rapor atau perlakuan istimewa. Regulasi yang mengatur hal ini perlu diperjelas agar tidak menimbulkan multitafsir.
Berbeda dengan pemberian hadiah kepada guru, pemberian hadiah, buah tangan, atau sejumlah uang kepada pejabat publik secara hukum dikategorikan sebagai suap. Suap merupakan tindakan yang melanggar hukum dan etika pemerintahan.
Baca juga:
Tindakan ini bertujuan untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan pejabat publik demi kepentingan pribadi pemberi suap. Hukuman yang dijatuhkan bagi pemberi dan penerima suap pun tercantum jelas dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketegasan hukum dalam menindak praktik suap sangat penting untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi.
Perbedaan mendasar antara pemberian hadiah kepada guru dan pejabat publik terletak pada konteks dan tujuannya. Pemberian hadiah kepada guru, meskipun berpotensi menjadi gratifikasi, masih berada dalam zona abu-abu, terutama jika dilakukan secara wajar dan tidak disertai maksud tertentu.
Sementara itu, pemberian hadiah kepada pejabat publik secara langsung dikategorikan sebagai suap, karena secara inheren berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dan kepentingan pribadi. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih bijak dalam memberikan apresiasi, baik kepada guru maupun pejabat publik, agar tidak terjerat dalam lingkaran hukum yang berlaku. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam mencegah praktik gratifikasi dan suap.
Penulis : Ciprut Laela